Sabtu, 07 November 2015

Kehidupan di EROPA (PART 1-MAKANAN HALAL)

Kali ini aku akan banyak membahas tentang cerita-cerita mencari makanan halal di Negara yang mayoritas adalah non-muslim. Hidup di Negara maju seperti Jerman mungkin adalah impian setiap orang , namun sebagai muslim hidup di negara mayoritas non muslin sudah pasti memiliki cerita tersendiri dan dari sisi makanan dari sisi beribadah. Pertama aku akan bercerita tentang bagaimana cara mendapatkan makanan seratus persen halalan thoyyiban. Pada saat sebelum berangkat ke jerman supervisorku di Indonesia sangat menekankan arti pentingnya makanan sebagai seorang muslim, Bu Kartika mengatakan bahwa makanan bagi seorang muslim lebih dari sebagai pemuas nafsu lapar, namun ada arti ibadah didalamnya “apapun yang kita makan akan menjadi penentu akan dikabulkan atau tidaknya doa kita. Berada di Negara orang ada satu yang harus kita jaga yaitu adalah doa,  jika kita tidak bisa memilih makanan yang masuk kedalam perut kita maka rugilah kita” kira-kira beliau mengatakan hal yang demikian. Kata-kata itu seperti terus terekam dalam memori, untuk sebisa mungkin menjauhi makanan haram.

Bersama dua orang keren Mbak Ajeng (left)  Bang Afiat (right) 
Dalam cerita suatu hari aku dan Bang Afiat membeli kebutuhan sehari-hari di sebuah supermarket (penny), masih ingat sekali Bang Afiat memberi informasi tentang bagaimana memilih makanan halal, sebagai muslim harus benar-benar cermat dan teliti dalam membeli produk makanan di Negara non muslim. Singkat cerita kita telah membeli beberapa makanan dan kebutuhan lainnya, keesokan harinya Bang Afiat membawa sebungkus Cookies Ginger (kue khas yang hanya ada jika menjelang natal) dia menawarkannya padaku, tanpa pikir panjang akupun langsung memakannya, ditengah-tengah diskusi yang asyik aku tak sengaja membaca ingredients Cookies tersebut dan terdapat satu kata yang menarik perhatianku, kutanyakan kepada Bang afiat tentang arti kata itu (dalam bahasa Jerman) karena Bang Afiat juga penasaran akhirnya dia mencari arti katanya di Google dan jeng…. Jeng…. Itu adalah salah satu bahan dasar yang berasal dari gelatin (kebanyakan gelatin dibuat dari sumsum babi) akhirnya dia menyimpan kembali cookies tersebut dan berniat untuk membuangnya. Aku bertanya kepadanya mengapa tidak kita berikan saja kepada teman-teman kita yang non muslim, namun Bang Afiat memberi tahu bahwa sesungguhnya makanan haram tetaplah haram jika dimakan siapapun, akupun mengangguk tanda menyetujui pendapatnya.

Jamuan Makan Malam di samping Sungai Rhein
Lain cerita, setiap bulan institute kita memiliki agenda untuk makan malam mewah di pinggir sungai Rhein yang indah, memang indah pemandangannya jika saja suasana tidak sedingin itu (read winter). Acara telah resmi dibuka saat yang ditunggu-tunggu telah datang yaitu makan gratis sepuasnya (kecuali minum bayar sendiri karena kebiasaan mereka lebih banyak minum dari pada makan) dari makanan pembuka, makanan utama  telah aku rasakan semua kenikmatannya memang benar-benar lezat dan bergizi (ketimbang makananku setiap hari, ceritanya dibawah) sebisa mungkin aku tidak ambil makanan yang berbau daging kecuali sea food, tibalah saatnya mencoba makanan penutup karena makannyaku yang paling cepat dibandingkan Bang Afiat sehingga aku lebih dahulu mencoba desert  rasanya luar biasa nikmat entah apa namanya namun itu adalah desert paling enak yang pernah aku makan. Selang beberapa menit Bang Afiat mengambil desert tersebut dan akupun kembali mengambilnya, disaat aku sedang lahap-lahapnya memakan makanan itu namun tiba-tiba bang afiat membuatku terkejut dengan mengatakan bahwa makanan ini mengandung rum (semacam alcohol untuk makanan) sontak itu mengejutkanku “What the?” “ini enak banget bang” kataku, “ya terserah elu ajah kalo mau dilanjutkan ya monggoh tapi gw mau bilang ini haram karena ada rumnya” jawabnya, kecewa mungkin tapi sudah kewajibanku untuk berhenti makan desert yang masih menumpuk di piringku (karena aku mengambilnya kebanyakan).

Fare well Party Mr. Fabian


Sweetest moment in Wainachtmarkt
Beberapa kali aku diundang untuk datang di farewell party atau juga acara kumpul-kumpul anak gaul Jerman yaitu setiap malam kamis. Marrianne dia adalah seorang temanku di lab, dia sangat baik, saat itu dia mengajakku untuk kumpul dengan beberapa teman lab di wainacthmarkt (Pasar Kaget saat menjelang natal). Sebelumnya aku telah menceritakan kepada marrianne bahwa aku tidak bisa minum Alkohol, sehingga pada saat itu dia menyarankanku untuk memesan minuman khusus menjelang natal tanpa alkohol, tentu itu saran yang baik akhirnya Kinda Punch adalah pilihan yang tepat untukku harganya segelas minuman itu sekitar 2 Euro. Bercerita tentang taste minuman tersebut sedikit aneh di lidah orang Indonesia pada umumnya, minuman itu terbuat dari sari jus bermacam buah-buahan dengan cara dipanaskan namun ya lumayan. Konsekuensi dari minum-minuman tersebut adalah medapatan bullion dari teman-teman lab pada saat itu, karena memang minuman itu adalah minuman anak kecil sehingga menurut mereka yang meminum minuman tersbut adalah anak kecil dan akupun mendapat julukan “pussy punch” haha… aku sudah terbiasa dengan bulian ketika di Indonesia sehingga itu tak masalah asalkan lucu buat bercandaan.

Menu Wajib 
Lain lagi cerita tentang makanan sehari-hari, sejak awal kedatanganku di Eropa, aku memang sudah berniat untuk mengurangi pengeluaran untuk makan dengan membawa beberapa lauk kering dari Indonesia. Aku, Bang Ghiffari dan ramesh memutuskan untuk berbelanja kebutuhan seperti beras dan beberapa lauk untuk makan malam bersama. Setiap pagi aku selalu menyiapkan bekal yang aku bawa untuk makan siang, hamper setiap hari lauknya sama dan tidak jauh dari yang namanya abon, sambel goreng tempe dan kecap pedas. Perasaan bosan, tentu ada namun tidak aka nada manis yang dirasakan diawal meskipun seperti itu aku juga harus banyak-banyak bersyukur karena banyak sekali orang-orang baik yang mau mentraktirku makan siang dari Bang Afiat, Mbak Ajeng dan Pak Taufik (Alhamdulillah rejeki anak sholeh). Itu adalah makan siang, bagaimana dengan makan pagi dan makan malam? Ya, makan pagi karena sudah terbiasa tidak sarapan sehingga sudah seterong, namun ada kejadian lucu makan malam bersama dengan teman kontrakan. Pada saat kita bertiga semua berjalan normal, namun keanehan mulai terjadi pada saat Bang Ghiffari memutuskan untuk pulang ke Palembang.  Aku bertugas untuk membereskan semua peralatan dan mencucinya sedangkan temanku bertugas untuk memasak, sempat ada beberapa kejadian yang membuatku was-was. Pada suatu malam dia sudah selesai memasak dan kamipun siap untuk menyantap makanan tersebut, namun dia sedang memanaskan sesuatu di dapur dengan berpositif thinking aku pun mendahului dia dengan mengambil sedikit sayur yang telah dia buat, dia datang dengan membawa masakan yang tadinya aku kira daging sapi, betapa terkejutnya ketika aku tahu bahwa itu adalah pork tentu aku tidak melanjutkannya. Dia telah mengetahui bahwa orang muslim dilarang memakan babi namun dia tidak mengerti tentang lainnya, yaitu ketika dia mencapur spatula yang dia gunakan menggoreng daging tadi kedalam sayuran yang awalnya halal…. “Oh My God, kenapa tadi aku ambil sedikit, damn” dalam hati. Dia menyuruhku untuk menghabiskan sayuran tersebut, namun dengan alas an sudah kenyang aku menolaknya, padahal masih lapar :’(. Sempat aku menjelaskan kepadanya namun dia tidak juga mengerti sehingga aku putuskan memasak sendiri pada malam hari (kita bercerai dalam membeli kebutuhan pokok), karena basik aslinya aku suka untuk mencampur dan mencoba sesuatu (bukan suka memasak) akhirnya aku berhasil membuat suatu resep makanan yang paling enak yang pernah aku buat, namanya saja tidak tahu namun rasanya luaar biasa (tapi pada saat itu dalam keadaan lapar banget, jika nggak kayanya ga bakal dimakan) salah satu makanan yang aku kreasikan berbahan antara lain Jamur, kacang polong merah, bawang bombai, bawang merah, saus spageti, susu krimmer, gula, garam, dan kentang (sudah bisa membayangkan rasanya bagaimana?hehe).


Kreasi Masakan Hasil Campur Mencampur












  

Minggu, 01 November 2015

First Week in Unknown Place (Bonn, Germany)


daun-daun sudah menguning (winter, suhu  8 derajat Celcius)
 Setelah sampai di flat Bang Afiat malam harinya aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya Jet Lag, mata tidak bisa terpejam meskipun rasanya badan sudah capek dan ingin istirahat dan akhirnya keesokan harinya bangun dengan tidak merasa segar. Pagi hari aku harus segera bergegas mempersiapkan diri untuk hari pertamaku masuk lab. Pagi itu aku menuju institut (IMMIP-Uniklinikum Bonn) ditemani Bang Afiat, yap hari pertama selalu mempunyai cerita menarik yang tak bisa dilupakan. Memasuki gedung yang memiliki banyak ruangan yang digunakan untuk laboraturium, jika tidak salah ada beberapa laboraturium untuk Medical Mikrobiology, Virology, Parasitology dan Immunology. Bang Afiat menjelaskan banyak hal tentang rungan labotraturium dan apa yang dikerjakan didalamnya, tentu sebagai orang asing aku banyak bertanya ke Bang Afiat saat itu, selain itu bang afiat juga mengenalkan beberapa orang yang kita temui di lorong saat akan menuju ke ruangan Bang Afiat di Lantai tiga. Beberapa orang yang ku temui mereka sangat baik dengan menanyakan beberapa hal kecil, dari percakapan kecilku itu menunjukkan ada yang salah dengan diriku. Ternyata ada juga orang Indonesia yang sedang internship sepertiku, namanya Mbak Ajeng beliau adalah Dokter dan Juga Dosen FK UNPAD yang membedakannya pasti tingkat penelitian yang di ambil sudah "HQ". Banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling disekitar gedung IMMIP, akhirnya aku meminta izin untuk sementara duduk di ruangan Bang Afiat, dalam satu ruangan Bang afiat tidak sendiri dia bersama tiga orang PhD student lainnya. Entah mengapa rasanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan orang-orang ini pada saat itu sehingga aku lebih banyak diam dan baru berbicara jika mereka bertanya tentu sekenanya saja. 

Meja Kerja (sengaja diberantakan)
Tanpa disengaja Bang Afiat dan aku bertemu dengan supervisorku Dr. Specht beliau adalah seorang PD (asisten Professor) di institut tersebut, beliau menanyakan beberapa hal dan memintaku untuk menemuinya di ruangannya sore itu. Sore harinya aku menepati permintaannya untuk menemuinya di ruangan beliau, beliau bermaksud untuk menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan penelitianku yang akan ku kerjakan disana. Beliau memulainya dengan percakapan ringan mengenai perjalanan, dan kesan pertama mengenai Jerman dan penginapan serta biaya untuk aku tinggal disana, aku menjawab sekenanya saja dan akhirnya pertanyaan yang ku takuti itu muncul juga "lets discuss about your project" oh my god, saat itu aku benar-benar seperti ditodong. Entah mengapa dari pagi hari sepertinya aku merasa kehilangan sesuatu dalam diriku, aku melupakan bagaimana cara berbicara bahasa inggris, ini benar-benar terjadi padaku.  Tahu apa yang kulakukan saat itu adalah, banyak meminta maaf karena aku tidak bisa menjelaskan hal itu kepada beliau namun akhirnya aku sedikit memberi gambaran tentang proyekku dengan menggunakan gambar, layaknya anak SD menggambar aku menggambar orang-orangan, nyamuk yang sangat jelek, beberapa panah keatas dan kebawah untuk menunjukkan peningkatan/penurunan, moment dimana aku sangat merasa gagal dan menyesal mengapa bisa orang sepertiku yang berangkat ke sini, orang yang bahasa inggrisnya sangat dibawah standart. Akhirnya beliau memaklumi dan menyarankan aku untuk pulang dan istirahat. Aku menceritakan hal itu pada Bang Afiat dengan nada sedikit kesal dengan diriku, namun sungguh bersyukur dikenalkan dengan seorang Bang Afiat, dia memberiku semangat untuk bangkit, aku harus benar-benar berusaha belajar jangan sampai membuat malu nama institusi universitas dan pihak konsorsium yang telah memilihku. Aku sadar akan "no pain no gain" dan "aku harus bangkit dan mengusahakannya".  Aku coba menghubungi supervisorku di Indonesia untuk memberikan aku saran, akhirnya beliau mengirimkan aku beberapa materi untuk aku pelajari dan untuk aku sampaikan kepada supervisorku disini.

  
Kira-kira aku membutuhkan tiga hari untuk penyesuaian diri, sebelum aku benar-benar bisa membiasakan diri berada di lingkungan yang tidak biasa aku hadapi sebelumnya. Ternyata benar, semua butuh proses selang tiga hari kemudian aku mulai bisa memulai percakapan dengan member lab lainnya, bahkan sudah mulai bisa mengajak beberapa teman untuk sekedar bercanda ya walaupun aku tahu bercandaanku gak lucu bagi mereka dan mereka mengusahakan untuk tertawa (aku adalah tipikal orang yang suka bercanda). Akhirnya dengan bekal beberapa materi dari Bu Kartika aku menjelaskan maksud dan tujuanku datang ke lab beliau, beliau memberikan beberapa kemungkinan yang bisa aku lakukan dan setelah diskusi panjang dengan Supervisorku di Indonesia juga diputuskan aku melakukan dua penelitian, yang pertama adalah berkaitan dengan kultur sel PBMC (Pheripheral blood Monouclear Cell) dan kultur sel Plasmodium falciparum , untuk kultur sel PBMC aku disarankan untuk banyak berguru pada ahli PBMC di lab itu yaitu seorang PhD Student bernama Katawa, dan untuk belajar mengkulturkan sel plasmodium aku disarankan untuk belajar pada seorang teknisi bernama Martina. Kedua orang ini sangat banyak membantuku selama aku belajar di Lab tersebut, dari segi skill menggunakan alat yang sebelumnya belum pernah aku tahu, dan juga beberapa tehnik yang baru aku pelajari dalam mengkulturkan sel.
Uniklinikum Bonn, Germany

Selain mengenai urusan lab, aku juga dituntut untuk segera mendapatkan Flatku sendiri. Supervisorku disini sangat baik, beliau juga mengusahakan beberapa alternatif flat selain aku juga mencarinya, sempat beliau menawarkan untuk tinggal bersama dengan keluarga Jerman namun aku tidak begitu tertarik. Sampai akhirnya aku mendapat kabar baik dari salah seorang PhD student dari Indonesia yang mau membagi kamarnya denganku, Bang Ghiffari namanya beliau adalah dokter sekaligus Dosen di FK UNSRI. Tidak terkejut memang semua orang Indonesia yang disini adalah seorang dokter karena Uniklinikum adalah Universitas yang Khusus menyediakan focus dibidang kedokteran dan kesehatan. Aku putuskan untuk memilih tinggal bersama bang Ghiffari sekamar dan seorang temannya yang berasal dari Nepal bernama Ramesh. Kami bertiga hidup damai di rumah kecil di halaman belakang rumah seorang Janda Tua bernama Erika (seorang native yang tinggal sendiri namun mengenal baik Internet dan teknologi) di Lessenich Kapelle, Laurentius strasse-Bonn.

Prosesi pembuatan bakso ala anak Venusberg
Minggu pertama untuk menyambut kedatanganku (GeeR) para abang-abang yang telah lama tinggal di Venusberg = Gunung Venus (nama daerah Uniklinikum Bonn) mengadakan pesta kecil-kecilan dengan acara membuat mie Bakso dan ketan hitam. Seorang PhD student yang juga seorang dokter lulusan UNDIP bernama Bang Muhammad membawa bubur ketan hitam, kami sudah membeli beberapa bahan untuk membuat mie bakso seperti Mie indomei (kalo di Bonn harga  satu bungkus Indomie sekitar 10.000 rupiah hanya di jual di Asian Mart), daging yang halal (dibeli di toko Turki) tepung dan beberapa macam bumbu. Cukup menyenangkan kegiatan itu dengan suasana kekeluargaan yang hangat (karena udara diluar cukup dingin), itu pertama kalinya aku membuat bakso dan memakan hasil masakanku yang rasanya luar biasa. Namun kami tidak sadar dengan kehadiran Ramesh di rumah itu yang notabene agamanya adalah Hindu yang menganggap sapi adalah dewa, “it’s so rude right”…. Kita dengan riang membuat bakso daging sapi, maafkan kami brother. to be continued.....


Formasi Lengkap Genk Venusberg 

Jumat, 30 Oktober 2015

Perjalanan Menuju Jerman (Aku Menyebutnya Hari "H") 20 Oktober 2014

Pagi hari tanggal 19 oktober aku bangun dengan semangat, hari itu adalah H-1 sebelum hari keberangkatanku. Semua barang-barang telah ku masukkan kedalam sebuah koper (hasil pinjaman) dan tas jinjing. Aku membawa sebuah koper berisi baju dan sebuah tas berisi mkanan, memang aku berencana untuk mengirit pengeluaran saat disana karena aku tahu beasiswa yang diberikan tidaklah banyak, sehingga permintaanku untuk ibuku tidak muluk-muluk yaitu untuk membuatkan aku beberapa makanan yang tahan lama (abon daging, dendeng, sambel goreng kentang, serundeng dll). Hari itu kuputuskan untuk menimbang berat kedua tasku itu, salah seorang teman memberi tahuku bahwa berat bagasi pada penerbangan ET*HAD tidak boleh lebih dari 30Kg, karena setiap kilogramnya akan dikenakan biaya tambahan yang pasti tidak murah. Setelah kutimbang ternyata berat total kedua barang itu adalah 28 Kg, itu masih terlalu berat untuk penerbangan domestik, kukeluarkan barang-barang yang tidak terlalu penting dan berat akhir yaitu sekitar 26 Kg, tidak ada pilihan lain. Keesokan harinya aku telah siap untuk berangkat, bersama keluargaku kita berangkat menuju Bandara Juanda, saat itu jam menunjukkan pukul 09.30 WIB, kami menghabiskan waktu dengan bercanda sambil menunggu jadwal keberangkatan. Setelah dua jam berselang, aku pamit kepada kedua orang tua tercinta, sangat terharu mendengar wejangan dan doa-doa dari beliau, saat kulangkahkan kaki memasuki area dalam bandara kulihat tangis bercamur senyum di raut wajah ibuku, "Bismillah aku berangkat" dalam hati. 


Suasana di dalam Pesawat ET*HAD
Seperti yang telah kuperkirakan sebelumnya, untuk penerbangan domestik (Cit* L*nk) aku dikenakan biaya tambahan Empat ratus lima puluh ribu untuk total kelebihan bagasi. Perjalanan udara Surabaya-Jakarta sekitar empat puluh lima menit, sampai di Bandara Sukarno-Hatta, aku langsung menuju terminal 2E. Entah apa yang aku pikirkan  lamunanku jauh melayang serasa tidak percaya dengan apa yang akan aku hadapi dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul Empat sore dan itu artinya Tiga puluh menit sebelum boarding room di tutup, dan payahnya adalah aku belum menemukan counter ET*HAD, setelah sempat beberapa kali menanyakan kepada petugas akhirnya aku berhasil menemukannya. Momen yang membuatku menarik nafas dalam-dalam adalah ketika aku pesawat serasa aku, aku memotret semua aktivitas didalam pesawat ini menggunakan kamera ponselku.  Sendiri, mungkin itu yang cukup menggambarkan keadaanku saat itu, didalam pesawat sebesar itu aku hanya duduk sendiri, entah apa yang membuat penumpang seat sebelahku tak kunjung datang sampai akhirnya pesawat Take Off, Hikmahnya adalah aku bisa lebih maknai perjalanan ini sebagai perjalanan spiritual. Aku benar-benar takjub dengan pemandangan sinar lembayung senja yang menyinariku dari belakang seakan mengucapkan salam perpisahan kala itu. Tepat diatas samudera Hindia (kulihat di map) kurasakan turbulensi udara untuk pertama kali, saat itu memang cuaca diluar sedang tidak bersahabat, pilot memutuskan untuk menaikkan ketinggian pesawat  sehingga lampu seat belt hidup yang membuat aku sedikit khawatir, but everything was fine. 


Boarding Room Abudhabi Int. Airport
Setelah beberapa jam perjalanan udara akhirnya aku sampai di Abu Dhabi Int. Airport, landing yang cantik untuk ukuran pesawat besar, airport yang keren dengan mall di dalamnya, serta keamanan yang juga tak kalah strict.  Setelah sempat mengelilingi dan melihat kerennya salah satu airport tersibuk di dunia ini, sampailah aku di boarding room untuk menunggu jadwal keberangkatan penerbangan berikutnya Abu Dhabi-Frankfrut. Tepat jam 01.00am waktu indonesia di jam tanganku, aku memasuki pesawat yang akan membawaku meuju Frankfurt. Perjalananku kali ini tidak sendiri, aku ditemani oleh seorang yang berprofesi sebagai dokter dari Malaysia (aku lupa namanya) yang tujuannya untuk berlibur ke Jerman. Sebelum pesawat landing, dia memberikanku beberapa potong roti isi untuk aku bawa sebagai sarapan setelah nanti sampai di Frankfurt, tentu aku tidak bisa menolaknya "Alhamdulillah, baik sekali abang ini" dalam hati. 

ET*HAD PLANE
Pesawat yang kita tumpangi landing dengan selamat di landasan pacu Frankfurt Int. Airport (pukul 07.00 Waktu Jerman). Pertama kalinya ku injakkan kaki ke salah satu negara di Eropa (read Jerman) benar-benar bagaikan mimpi. Segera kulakukan Baggage Claim dan aku langsung mencari mushola, ya dijerman kita tidak bisa menemukan Musholla seperti di Indonesia atau bahkan di Abu dhabi yang di setiap Boarding Room ada Mushollanya, Sholat dengan duduk tak jadi masalah menurutku saat itu. Satu lagi, tidak seperti di Soekarno-Hatta Int. Airport, disana tidak ada trolley gratis yang semuanya harus bayar tentu itu aku hindari selain karena tubuhku masih kuat membawa barang seberat 26 Kg ditambah 1 tas punggung namun alasan utamanya adalah untuk hemat. Hal lain yang saat itu aku khawatirkan adalah dengan isu yang menyebutkan, jika berkunjung ke Eropa dan kita memiliki nama yang berbau islam, maka kita akan dipersulit karena dicurigai salah satu jaringan teroris, namun hal tersebut tidak terbukti. Saat di imigrasi aku hanya menunjukkan dokumen-dokumen yang lengkap dan ditanya tentang tujuan datang ke Jerman, karena aku memiliki surat LoA serta tujuanku jelas, Alhamdulilllah aku dipersilahkan melalui pintu keluar yang artinya sudah resmi tiba di Jerman.  Saat itu, aku telah membuat janji dengan seorang yang berasal dari Cirebon bernama yangming yang sedang kuliah di frankfurt untuk sedikit membantuku. Awalnya aku menunggu di luar gedung bandara, namun setelah 15 menit berada di luar, aku putuskan untuk masuk kembali kedalam bandara karena yang awalnya kukira dinginnya udara paling tidak sama seperti malang ternayata aku salah, saat aku melihat perkiraan cuaca yang jelas tertuliskan 8'C. 


Pemandangan dari dalam Kereta
 Akhirnya aku bertemu dengan mas Yangming membantuku untuk menuju Stasiun (HauptBhanhof) dengan menaiki Skyline Train. Setibanya di Frankfurt Hauptbahnhof, sebelum melanjutkan perjalanan ku putuskan untuk sarapan bersama mas yangming dengan beberapa potong roti isi yang kudapat dari teman di pesawat tadi. Pukul 9.00 tepat aku berangkat menggunakan kereta ICE (kereta tercepat di Jerman) aku tinggalkan frankfurt menuju Mainz (ganti kereta IC) dan dilanjut menuju Bonn. Selama perjalanan di dalam kereta, aktivitasnya masih relatif sama yaitu melamun dan bersyukur karena masih belum percaya saat itu aku benar-benar berada di Jerman. Perjalanan kira-kira menghabiskan waktu selama empat jam, namun perjalanan saat itu tidak ada kata membosankan karena kontur alam yang berbeda dan indah sehingga aku sangat menikmati perjalanan tersebut, sempat melewati kota kecil di lereng bukit yang unik serta sungai bersih jauh dari pemandangan kotor karena sampah.

Bonn HaupthBahnhof
"WILKOMMEN IN BONN" kalau tidak salah seperti itu tulisan yang tertera di dinding Bonn Hauptbahnhof,  Alhamdulillah akhinya sampai juga di kota penuh sejarah didalamya, Bonn adalah kota yang pernah menjadi Ibukota Bundes Republik Deutschland saat Jerman masih terbagi antara Jerman Barat dan Jerman Timur, selain itu kota Bonn dikenal dengan United Nation City karena di kota ini terdapat gedung United Nation, serta dikenal juga sebagai city of Beethoven seorang musisi kelas dunia yang lahir di kota kecil nan indah ini. Aku telah ditunggu oleh dua orang baik hati yang mau membantuku selama tinggal di Jerman yaitu Pak Taufik (asal jakarta) dan Bang Afiat (dokter dan dosen FK UNPAD), keduanya merupakan PhD student yang tinggal di Bonn. Pak Taufik dan Bang Afiat menjamuku di kedai makanan Turkey dekat HauptBahnhof. Setelah menikmati makanan Turkey yang lezat dan belum pernah aku rasakan sebelumnya, pak Taufik pamit pulang (arah flat beliau tidak searah) sedangkan aku dan Bang Afiat langsung bergegas menuju ke flatnya yang terletak di dalam kampus Uniklinikum Bonn (Universitas Khusus Kesehatan) dengan menggunakan Bis dengan nomor 603. Untuk beberapa hari, Bang Afiat bersedia menampungku tinggal bersama di Flatnya.
to be continued......

Welcome Food


Minggu, 25 Oktober 2015

Persiapan Keberangkatan Program Student Exchange IGN-TTRC


Hari seakan bergulir dengan cepat, saat itu  ada tiga tugas yang harus aku kerjakan dalam satu waktu karena memang sudah kewajibanku. Pertama adalah revisi naskah skripsi, mempersiapkan dan melaksanakan tanggungan PKM (alhamdulillah tahun 2014 tim yang digawangi oleh Ajeng Maharani, Novanda Asri, aku, serta Washilul Arham berhasil masuk PIMNAS 27 dibawah bimbingan Bu evi Dosen Farmasi) dan tentu persiapan keberangkatan. Kali ini saya akan banyak bercerita tentang suka duka dalam mengumpulkan berkas persiapan keberangkatan. 


Ada beberapa berkas yang harus dilengkapi jika ingin melakukan perjalanan keluar negeri untuk pertukaran pelajar, sebenarnya tidak banyak yang harus disiapkan seperti Pasport ID, travel insurance, Letter of  Acceptance (dari konsorsium dan juga dari pihak universitas yang bersangkutan) dan tiket pesawat PP. Langkah pertama yang saya ambil adalah menghubungi Prof. Nellen sebagai ketua konsorsium IGN-TTRC untuk segera memberikan saya surat keterangan resmi diterima sebagai peserta student exchange 2014 dan juga menghubungi Dr. Sabine specht sebagai calon supervisor saya di Jerman nanti. Tidak susah untuk mengusahakan surat rekomendasi dari seorang Professor Nellen, setelah sempat beberapa kali saya email beliau langsung mengirimkan saya surat rekomedasi yang saya minta. Bukan hidup namanya jika tidak ada kesulitan dalam sebuah proses, kesulitan itu saya rasakan saat beberapa kali saya mengirimkan email permohonan LoA kepada calon supervisor saya di Jerman namun tidak ada respon. Saya selalu berkomunikasi dengan tiga orang teman lainnya yang juga mendapat kesempatan untuk ke Jerman, mereka mengutarakan bahwa sangat mudah untuk mendapat LoA dari calon supervisornya, tapi "kenapa saya sampai saat itu belum dapat? padahal kemarin sepertinya tidak seperti ini saat meminta beliau untuk bersedia menjadi supervisor" dalam hati. Saya sangat mengerti dengan kesibukan beliau, namun saya juga sangat ingin menyelesaikan alur persiapan berkas. Diposisi itu saya dituntut untuk lebih sabar, berusaha lebih intens menghubungi beliau dengan mengirimkan email di waktu-waktu yang tepat (perbedaan waktu indo-jerman sekitar 5 jam), meminta pendapat ketua konsorsium mengenai hal itu (sempat dihubungkan secara langsung), meminta bantuan pembimbing skripsi untuk menghubunginya namun masih belum ada respon dari beliau. Semua teman-teman telah mendapat LoA dan akan segara menyelesaikan pengurusan Visa di kedutaan besar Jerman Jakarta, namun saya masih belum mendapatkannya, sempat saya berfikir bahwa mungkin jika sampai deadline pengajuan pembuatan visa saya masih belum mendapatkan LoA saya putuskan untuk berusaha mengikhlaskannya. "Allah tidak akan menguji seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS-Al Baqarah:286)" Sampai suatu malam, pada saat saya sedang lembur kerjaan di lab. saya mendapatkan sebuah email dari beliau yang menyatakan kesibukannya keemarin dan menyanggupi untuk segera mengirimkan LoAnya kepada saya, saya pun sangat gembira membaca hal itu, akhirnya selang beberapa hari saya mendaptkan Officially LoA dari beliau (Alhamdulillah Allahu Akbar). Perjuangan belum selesai, selanjutnya adalah perjuangan dalam pencairan uang untuk pembelian tiket PP Jakarta-Frankfurt. Banyak orang bilang bahwa hal yang berhubungan dengan uang adalah yang paling sensitif, sebisa mungkin saya sudah mencoba dengan cara yang sehalus mungkin  untuk meminta uang pembelian tiket segera dikirim, sempat ada beberapa kali miss komunikasi namun akhirnya uang berhasil saya pegang (1000 Euro).

Sekali lagi saya bersyukur banyak memiliki dosen-dosen pembimbing yang sangat perhatian (Bu kartika, Bu Rike, Bu Yunita, dan Bu Murti) beliau banyak menyemangati dan memberi masukan dalam proses ini baik dari segi persiapan berkas ataupun persiapan materi yang akan dikerjakan di Jerman. Salah seorang dosen mengenalkan saya pada seorang travel agent yang Alhamdulillah banyak membantu saya dalam hal pengurusan tiketing, travel insurance dan juga appoinment dengan Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Beliau menyarankan untuk mengambil asuransi dari *CA dan beliau memilihkan jadwal penerbangan yang pas untukku menggunakan maskapai ET*HAD, total yang saya harus bayar ke beliau sebesar lima belas juta delapan ratus rupiah. Setelah sudah jelas tanggal keberangkatan dan kepulangan, travel insurance beres, Pasport ID di tangan, LoA sudah di print dan Appoinment sudah dibuat.

Tiba saatnya untuk pembuatan visa pertama, Perjalanan yang panjang serta melelahkan dari jember-Jakarta menggunakan kereta ekonomi (jangan ditanya alasan, sudah pasti alasannya cari murah) perjalanan sekitar 22 jam dan itu sendirian (eh udah biasa sendiri sih). Akhirnya tiba di jakarta, keesokan harinya segera kupersiapkan diri untuk segera bergegas dan berangkat menuju ke daerah Kuningan-Jakarta Pusat, sekitar jam 08.30 WIB kami sampai di sekitar bangunan Kedubes Jerman, dikelilingi pagar yang tinggi berwarna hijau dengan kamera pengawas disetiap sisi dan petugas keamanan yang bertugas selalu siap siaga. Ku perhatikan sekeliling sambil menunggu kurir travel agent mengantarkan beberapa berkas persyaratan yang harus kubawa sebagai persyaratan permohonan pembuatan visa. tepat jam 09.00 WIB ku ptuskan untuk memasuki area Kedubes, sebelum memasuki area kita akan diberi beberapa pertanyaan seperti "sudah buat appointment? atas nama siapa? bisa menunjukkan KTP atau ID?" setelah dipersilahkan masuk, kita diminta untuk meletakkan semua alat komunikasi dan bahan yang terbuat dari metal kedalam sebuah nampan,  diperiksa kembali menggunakan metal detector setelah dinyatakan free baru dipersilahkan memasuki gedung. Kesan pertama ketika memasuki area tersebut adalah keamanan tingkat tinggi dan lingkungan sekitar yang asri dan hijau sangat nyaman dipandang. Kumasuki ruangan di salah satu lantai dan tampak beberapa orang sedang menunggu antrian, tak banyak yang bisa kulakukan hanya karena semua alat telekomunikasi sudah diserahkan ke petugas keamanan,  akhirnya hanya terdiam memperhatikan sekeliling dan menunggu giliran untuk dipanggil. Tepat pukul 09.45 WIB (tepat seperti jadwal yang tertera pada lembar appointment) nama saya dipanggil oleh seorang petugas, langsung saja ku serahkan beberapa persyaratan pengajuan permohonan visa, namun ada selembar surat yang memang tidak diminta tetap ku lampirkan yaitu Surat Keterangan bebas biaya pembuatan Visa dari DAAD jakarta, sebelumnya info yang saya dapat jika ingin membuat visa semua biaya pembuatan visa dibebankan pada pemohon, namun saya mencoba melobi pihak DAAD jakarta agar saya mendapat visa gratis dengan mengirimkan email langsung dan akhirnya saya berhasil mendapatkan Visa gratis (Alhamdulillah). Proses permohonan tidak begitu lama sekitar 30 menit, pelayanannya sangat professional dan cepat, setelah itu petugas menyatakan untuk kembali mengambil visa terhitung sejak 14 hari setelah hari itu, saya mengajukan untuk mengambil visa di Konsulat Jendral Jerman di Surabaya ternyata hal tersebut bisa dilakukan. 14 hari telah berlalu, dengan mendatangi KonJen Jerman di  Surabaya akhirnya aku mendaptkan satu tiket penting untuk keberangkatanku yaitu VISA JERMAN pertama....... ^_^

 to be continued.......


Sabtu, 24 Oktober 2015

Student Exchange Program of IGN-TTRC (Beasiswa Pertukaran Mahasiswa ke JERMAN) 2014

Pagi itu rasanya masih ku ingat betul, saat aku sedang persiapan untuk melakukan sambutan acara Masa Ospek Mahasiswa Baru di Jurusan Biologi FMIPA UJ. Berniat untuk membunuh waktu menunggu, ku sempatkan untuk membuka email, ku baca ada sebuah email dari konsorsium IGN-TTRC yang mengumumkan akan diadakannya seleksi pertukaran pelajar ke Jerman tahun 2014, sontak hal itu memecah konsentrasiku. Setelah acara pembukaan, baru aku benar - benar menyimak persyaratan apa saja yang dibutuhkan untuk pendaftaran. Keesokan harinya aku langsung segera mengumpulkan berkas berkas yang dibutuhkan, memang pada saat itu seorang mahasiswa yang menempuh TA (semester 8) lebih banyak nganggur ketika tidak ada revisi naskah skripsi, sehingga itu adalah kesempatanku untuk memulainya. Aku berusaha menghubungi supervisorku untuk mengungkapkan keinginan mengikuti seleksi pertukaran pelajar 2014, nampaknya beliau sangat mendukung keputusanku itu (berbangga dan bersyukur memiliki supervisor seperti beliau).

Beberapa persyaratan seperti motivation letter dan research planning kupersiapkan, tentunya dengan berkonsultasi dengan supervisor skripsi, beliau menyarankan untuk menuliskan kondisi yang dihadapi di Indonesia ketika mahasiswa S1 melakukan riset, tidak lengkapnya alat maupu bahan serta mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dijadikan sebagai alasan utama untuk menarik perhatian reviewer (Quote: ketika kita ingin berhasil dalam seleksi berkas paling tidak kita harus menyajikan cerita yang berbeda dan memiliki makna kehidupan), beliau juga menyarankan untuk segera menghubungi seorang peneliti dari Universitas di Jerman untuk memberikan dukungan dengan mengirimkan letter of acceptance untukku mengerjakan penelitianku di labnya. Selang beberapa minggu setelah aku mengirimkan email pertama (perkenalan dan mengemukakan keinginan), akhirnya aku mendapat sinyal positif dari beliau yaitu sepucuk email yang menyatakan kebersediaan beliau untuk membantuku dalam penelitian yang akan aku lakukan di lab beliau. Sangat beruntung rasanya aku saat itu memiliki supervisor yang sangat perhatian dan mendukung mahasiswanya 100%, supervisor dari jerman yang sangat welcome dan tentu kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan dan doa disetiap langkah yang aku ambil (menurutku "doa" adalah jampi paling manjur) . sebelum deadline yang telah ditetapkan aku berhasil menyelesaikan dan mengumpulkan semua persyaratan yang dibutuhkan, setengah lega dan akhirnya dengan memohon restu dari kedua orang tua serta supervisor skripsi aku mengirimkan email yang berisi semua persyaratan yangdibutuhkan untuk proses seleksi (perlu di ketahui pada saat itu nilai TOEFLku hanya 485 saja). Rasanya adalah seperti berhasil melakukan tugas yang besar penuh ketegangan, akhirnya setelah itu aku kembalikan fokusku pada skripsiku yang memang sekitar satu setengah bulan aku tinggalkan untuk ini. Hari-hariku berjalan seperti biasa pada saat itu, aku mendapatkan beberapa info jika yang berhasil menyelesaikan semua persyaratan dan mendaftar tepat waktu ada sekitar tiga puluh orang yang terdiri atas mahasiswa dan dosen dari universitas yang tergabung dalam konsorsium IGN-TTRC. Melihat dengan banyaknya kandidat yang menikuti seleksi aku mencoba untuk positif thinking bahwa tugasku adalah mencoba jika gagal itu sudah biasa (bagian dari proses) jika berhasil tentu itu bonus dan keberuntunganku dari apa yang telah aku usahakan, tentunya berdoa yang terbaik adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan setelah berusaha.

Sebulan setelah ditutpnya pendaftaran, aku ingat betul saat itu adalah  malam minggu, malam dimana kami para pencari nyamuk (read Renam,Washil,Elisa, Ajeng, Novanda enam pemuda-pemudi tangguh  on TBV-RG) sedang melakukan kegiatan penangkapan nyamuk Anopheles (vektor malaria) di desa Bangsring, Banyuwangi. Malam itu kuputuskan untuk menangkap nyamuk di sekitar kandang sapi (sebagai host nyamuk) dengan tidak membawa Hand phone agar lebih fokus dan memang saat itu baterainya low (alasan utama). sekitar pukul delapan malam Novanda menghampiriku dengan raut wajah riang dan sedikit berteriak "Mirza selamat yaaaaa..." kira-kira begitu kalimat pertamanya padaku,  "selamat apa? "emang kenapa?" tanyaku padanya, "jadi berangkat ke Jerman yaaaaa" jawabnya, "ah masih belum tahu masih diseleksi, lawannya pada keren-keren" timpalku, dia menyodorkan HPnya padaku menyuruhku membaca sebuah percakapan di Group WA TBV-Bact. Research Group yang semuwanya berisi ucapan selamat kepadaku, aku masih belum sepenuhnya paham tentang apa yang menyebabkan semua member group menyelamatiku, kucari terus info awal dengan menscrol screen percakapan, kudapatkan sebuah pesan yang kira-kira seperti ini isinya "Bu Kartika: Setelah melakukan rapat intern konsorsium, telah ditetapkan empat besar yang akan berangkat ke Jerman dalam rangka mengikuti Program pertukaran Pelajar, yang salah satu nama dari daftar yang diumumkan adalah mirza, selamat ya" antara percaya atau tidak setelah membaca pesan itu. Sementara teman-teman yang lain pada mencoba menyelamatiku, aku masih belum bisa percaya ku coba untuk bersujud syukur dan benar-benar kurasakan bahwa itu adalah nyata, puji syukur alhamdulillah yang aku baca saat itu untuk mensyukurinya. Selang beberapa hari, saya mendapatkan pengumuman resmi dari ketua konsorsium IGN-TTRC Professor Wolfgang Nellen, isi emailya singkat padat dan jelas, seperti ini;


(to be cotinued......)










Jumat, 16 Oktober 2015

Selangkah Lebih Dekat Dengan JERMAN

        Semua orang sudah pasti memiliki impian untuk dapat mengunjungi negara lain, saya adalah anak muda Asal "Sumenep-Madura" yang juga mempunyai mimpi itu. Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 1 Sumenep, saya memang merencanakan untuk kuliah di Universitas Negeri karena selain lebih murah dari segi biaya, saya juga ingin mendapat kesempatan untuk pertukaran pelajar. Jujur, menjadi seorang Mahasiswa Jurusan BIOLOGI-FMIPA adalah bukan impian saya, namun saya mencoba selalu berpikir positif, dengan begitu saya bisa lebih ikhlas dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa MIPA dengan seabrek praktikum, tugas, laporan, ujian, pre test, itu semua sudah menjadi bagian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam benak, saya masih mempunyai mimpi yang terlalu tinggi untuk seorang "saya", jadi saat itu saya jalani saja apa yang menjadi tugas saya. Semester satu dan dua merupakan semester penyesuaian diri dengan lingkungan, saat itu saya sangat ingin untuk meningkatkan kemampuan bahasa inggris saya. Bahasa inggris,,,, yap, Bahasa Inggris merupakan satu point penting yang saya tidak sadari bahkan saya lewatkan saat saya duduk di bangku SD, SMP bahkan sampai SMA. Seorang yang mungkin hanya bisa bermimpi untuk mendapat kesempatan ke luar negeri dengan Bahasa inggris yang "pas-pasan". Pertengahan semester dua saya putuskan untuk mengikuti kegiatan Biology English Club (BEC), ternyata bahasa inggris sangat menarik untuk dipelajari dan itu merupakan awal saya untuk mencoba kembali merajut mimpi. Setiap tahun diawal semester ganjil ternyata BEC memiliki program seleksi mahasiswa yang ingin mengikuti Student Courses, saat itu Jurusan Biologi UNEJ bekerjasama dengan 6 universitas di Indonesia (IPB, UB, UNAND, UNMUL, UNSRAT, UNAIR) dan 1 universitas dari Jerman (Kassel University) dengan membentuk konsorsium Indonesian German Network Teaching Training and Research Collaboration (IGN-TTRC) yang didanai oleh DAAD (pemberi beasiswa dari Jerman). Tahun pertama (pada saat saya semester dua) diadakan seleksi program tersebut, saya tertarik dan saya mencoba untuk mendaftarkan diri namun saya sangat sadar akan kemampuan saya sehingga pada saat itu saya gagal dan dua orang terpilih (kakak angkatan) satu orang di UB dan lainnya di kirim ke UNAND untuk mengikuti program tersebut. Tentu saya juga ingin mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut, saya putuskan untuk meningkatkan kemampuan saya dan mencobanya kembali di tahun depan. Sesi wawancara di lakukan oleh Representatif Konsorsium untuk UNEJ Dr.rer.nat. Kartika Senjarini, Akhirnya pada tahun itu saya berhasil terpilih untuk mewakili mahasiswa UNEJ mengikuti program kursus tentang "DNA BARCODING" di UNAND, PADANG. Perasaan senang, bangga, haru, bingung, takut semua seakan bercampur menjadi satu.
           Pengalaman pertama mengikuti event internasional, bertemu dan berinteraksi langsung dengan peneliti dari Jerman, bertemu dengan banyak mahasiswa keren dari beberapa Universitas, pengalaman pertama menginjakkan kaki di pulau Sumatera (read Padang), dan tentu pengalaman pertama juga naik pesawat (sebelumnya cuma bisa mimpi) yang intinya adalah semuwa pengalaman yang didapat sangatlah berharga tanpa harus mengeluarkan biaya sendiri (Full funded). Pengalaman yang susah dilupakan pada tahun 2012, dan memacu saya untuk lebih semangat dalam menggapai mimpi.
        Saya selalu mencoba untuk aktif dalam mengikuti semua kegiatan yang diadakan IGN-TTRC seperti International Conference di UNAIR surabaya sebagi regional committee, selain itu saya juga mulai berani untuk mencoba mendaftar program pertukaran pelajar ke Jerman. Bukan hanya kegiatan yang diadakan IGN-TTRC saja, tapi saya juga selalu mencoba semua program pertukaran pelajar yang diadakan oleh pihak-pihak berbeda seperti program Jennesys 2.0 (short courses) yang diadakan oleh pemerintah Jepang, program summer courses di Gyeongsang National University yang danai oleh NIIED (pemerintah Korea Selatan). Sayang seribu sayang semua aplikasi yang saya kirimkan belum memberikan hasil positif, namun saya tak ada kata menyerah untuk itu "mencoba" adalah kata yang tepat dari pada hanya "menonton". Tahun 2013 akhir saya putuskan untuk membuat Pasport ID alasan saya membuat pasport karena setiap aplikasi selalu diminta informasi mengenai pasport (jika ada), alasan lain yang saya kemukakan kepada kedua orang tua adalah agar saya semakin termotivasi untuk lebih giat lagi untuk mencari beasiswa pertukaran pelajar luar negeri. Padaproses pembuatan visa saya sedikit mengarang cerita indah kepada petugas, bahwa saya akan berangkat ke Jepang untuk pertukaran pelajar (maaf pak... sebenarnya saya itu sambil berdoa pak :D ).Telah banyak aplikasi yang saya kirimkan, namun saya masih belum bisa mewujudkan impian itu, saya sadar sepenuhnya bahwa seberapa keras anda berusaha jika Tuhan masih belum menghendaki maka hal itu tidak akan terjadi. Kadang saya berfikir mungkin memang bukan jalan saya untuk dapat pergi ke luar negeri saat ini dan sampailah saya di akhir masa kuliah saya untuk lebih fokus pada Tugas Akhir (skripsi).
to be continued......