Sabtu, 07 November 2015

Kehidupan di EROPA (PART 1-MAKANAN HALAL)

Kali ini aku akan banyak membahas tentang cerita-cerita mencari makanan halal di Negara yang mayoritas adalah non-muslim. Hidup di Negara maju seperti Jerman mungkin adalah impian setiap orang , namun sebagai muslim hidup di negara mayoritas non muslin sudah pasti memiliki cerita tersendiri dan dari sisi makanan dari sisi beribadah. Pertama aku akan bercerita tentang bagaimana cara mendapatkan makanan seratus persen halalan thoyyiban. Pada saat sebelum berangkat ke jerman supervisorku di Indonesia sangat menekankan arti pentingnya makanan sebagai seorang muslim, Bu Kartika mengatakan bahwa makanan bagi seorang muslim lebih dari sebagai pemuas nafsu lapar, namun ada arti ibadah didalamnya “apapun yang kita makan akan menjadi penentu akan dikabulkan atau tidaknya doa kita. Berada di Negara orang ada satu yang harus kita jaga yaitu adalah doa,  jika kita tidak bisa memilih makanan yang masuk kedalam perut kita maka rugilah kita” kira-kira beliau mengatakan hal yang demikian. Kata-kata itu seperti terus terekam dalam memori, untuk sebisa mungkin menjauhi makanan haram.

Bersama dua orang keren Mbak Ajeng (left)  Bang Afiat (right) 
Dalam cerita suatu hari aku dan Bang Afiat membeli kebutuhan sehari-hari di sebuah supermarket (penny), masih ingat sekali Bang Afiat memberi informasi tentang bagaimana memilih makanan halal, sebagai muslim harus benar-benar cermat dan teliti dalam membeli produk makanan di Negara non muslim. Singkat cerita kita telah membeli beberapa makanan dan kebutuhan lainnya, keesokan harinya Bang Afiat membawa sebungkus Cookies Ginger (kue khas yang hanya ada jika menjelang natal) dia menawarkannya padaku, tanpa pikir panjang akupun langsung memakannya, ditengah-tengah diskusi yang asyik aku tak sengaja membaca ingredients Cookies tersebut dan terdapat satu kata yang menarik perhatianku, kutanyakan kepada Bang afiat tentang arti kata itu (dalam bahasa Jerman) karena Bang Afiat juga penasaran akhirnya dia mencari arti katanya di Google dan jeng…. Jeng…. Itu adalah salah satu bahan dasar yang berasal dari gelatin (kebanyakan gelatin dibuat dari sumsum babi) akhirnya dia menyimpan kembali cookies tersebut dan berniat untuk membuangnya. Aku bertanya kepadanya mengapa tidak kita berikan saja kepada teman-teman kita yang non muslim, namun Bang Afiat memberi tahu bahwa sesungguhnya makanan haram tetaplah haram jika dimakan siapapun, akupun mengangguk tanda menyetujui pendapatnya.

Jamuan Makan Malam di samping Sungai Rhein
Lain cerita, setiap bulan institute kita memiliki agenda untuk makan malam mewah di pinggir sungai Rhein yang indah, memang indah pemandangannya jika saja suasana tidak sedingin itu (read winter). Acara telah resmi dibuka saat yang ditunggu-tunggu telah datang yaitu makan gratis sepuasnya (kecuali minum bayar sendiri karena kebiasaan mereka lebih banyak minum dari pada makan) dari makanan pembuka, makanan utama  telah aku rasakan semua kenikmatannya memang benar-benar lezat dan bergizi (ketimbang makananku setiap hari, ceritanya dibawah) sebisa mungkin aku tidak ambil makanan yang berbau daging kecuali sea food, tibalah saatnya mencoba makanan penutup karena makannyaku yang paling cepat dibandingkan Bang Afiat sehingga aku lebih dahulu mencoba desert  rasanya luar biasa nikmat entah apa namanya namun itu adalah desert paling enak yang pernah aku makan. Selang beberapa menit Bang Afiat mengambil desert tersebut dan akupun kembali mengambilnya, disaat aku sedang lahap-lahapnya memakan makanan itu namun tiba-tiba bang afiat membuatku terkejut dengan mengatakan bahwa makanan ini mengandung rum (semacam alcohol untuk makanan) sontak itu mengejutkanku “What the?” “ini enak banget bang” kataku, “ya terserah elu ajah kalo mau dilanjutkan ya monggoh tapi gw mau bilang ini haram karena ada rumnya” jawabnya, kecewa mungkin tapi sudah kewajibanku untuk berhenti makan desert yang masih menumpuk di piringku (karena aku mengambilnya kebanyakan).

Fare well Party Mr. Fabian


Sweetest moment in Wainachtmarkt
Beberapa kali aku diundang untuk datang di farewell party atau juga acara kumpul-kumpul anak gaul Jerman yaitu setiap malam kamis. Marrianne dia adalah seorang temanku di lab, dia sangat baik, saat itu dia mengajakku untuk kumpul dengan beberapa teman lab di wainacthmarkt (Pasar Kaget saat menjelang natal). Sebelumnya aku telah menceritakan kepada marrianne bahwa aku tidak bisa minum Alkohol, sehingga pada saat itu dia menyarankanku untuk memesan minuman khusus menjelang natal tanpa alkohol, tentu itu saran yang baik akhirnya Kinda Punch adalah pilihan yang tepat untukku harganya segelas minuman itu sekitar 2 Euro. Bercerita tentang taste minuman tersebut sedikit aneh di lidah orang Indonesia pada umumnya, minuman itu terbuat dari sari jus bermacam buah-buahan dengan cara dipanaskan namun ya lumayan. Konsekuensi dari minum-minuman tersebut adalah medapatan bullion dari teman-teman lab pada saat itu, karena memang minuman itu adalah minuman anak kecil sehingga menurut mereka yang meminum minuman tersbut adalah anak kecil dan akupun mendapat julukan “pussy punch” haha… aku sudah terbiasa dengan bulian ketika di Indonesia sehingga itu tak masalah asalkan lucu buat bercandaan.

Menu Wajib 
Lain lagi cerita tentang makanan sehari-hari, sejak awal kedatanganku di Eropa, aku memang sudah berniat untuk mengurangi pengeluaran untuk makan dengan membawa beberapa lauk kering dari Indonesia. Aku, Bang Ghiffari dan ramesh memutuskan untuk berbelanja kebutuhan seperti beras dan beberapa lauk untuk makan malam bersama. Setiap pagi aku selalu menyiapkan bekal yang aku bawa untuk makan siang, hamper setiap hari lauknya sama dan tidak jauh dari yang namanya abon, sambel goreng tempe dan kecap pedas. Perasaan bosan, tentu ada namun tidak aka nada manis yang dirasakan diawal meskipun seperti itu aku juga harus banyak-banyak bersyukur karena banyak sekali orang-orang baik yang mau mentraktirku makan siang dari Bang Afiat, Mbak Ajeng dan Pak Taufik (Alhamdulillah rejeki anak sholeh). Itu adalah makan siang, bagaimana dengan makan pagi dan makan malam? Ya, makan pagi karena sudah terbiasa tidak sarapan sehingga sudah seterong, namun ada kejadian lucu makan malam bersama dengan teman kontrakan. Pada saat kita bertiga semua berjalan normal, namun keanehan mulai terjadi pada saat Bang Ghiffari memutuskan untuk pulang ke Palembang.  Aku bertugas untuk membereskan semua peralatan dan mencucinya sedangkan temanku bertugas untuk memasak, sempat ada beberapa kejadian yang membuatku was-was. Pada suatu malam dia sudah selesai memasak dan kamipun siap untuk menyantap makanan tersebut, namun dia sedang memanaskan sesuatu di dapur dengan berpositif thinking aku pun mendahului dia dengan mengambil sedikit sayur yang telah dia buat, dia datang dengan membawa masakan yang tadinya aku kira daging sapi, betapa terkejutnya ketika aku tahu bahwa itu adalah pork tentu aku tidak melanjutkannya. Dia telah mengetahui bahwa orang muslim dilarang memakan babi namun dia tidak mengerti tentang lainnya, yaitu ketika dia mencapur spatula yang dia gunakan menggoreng daging tadi kedalam sayuran yang awalnya halal…. “Oh My God, kenapa tadi aku ambil sedikit, damn” dalam hati. Dia menyuruhku untuk menghabiskan sayuran tersebut, namun dengan alas an sudah kenyang aku menolaknya, padahal masih lapar :’(. Sempat aku menjelaskan kepadanya namun dia tidak juga mengerti sehingga aku putuskan memasak sendiri pada malam hari (kita bercerai dalam membeli kebutuhan pokok), karena basik aslinya aku suka untuk mencampur dan mencoba sesuatu (bukan suka memasak) akhirnya aku berhasil membuat suatu resep makanan yang paling enak yang pernah aku buat, namanya saja tidak tahu namun rasanya luaar biasa (tapi pada saat itu dalam keadaan lapar banget, jika nggak kayanya ga bakal dimakan) salah satu makanan yang aku kreasikan berbahan antara lain Jamur, kacang polong merah, bawang bombai, bawang merah, saus spageti, susu krimmer, gula, garam, dan kentang (sudah bisa membayangkan rasanya bagaimana?hehe).


Kreasi Masakan Hasil Campur Mencampur












  

Minggu, 01 November 2015

First Week in Unknown Place (Bonn, Germany)


daun-daun sudah menguning (winter, suhu  8 derajat Celcius)
 Setelah sampai di flat Bang Afiat malam harinya aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya Jet Lag, mata tidak bisa terpejam meskipun rasanya badan sudah capek dan ingin istirahat dan akhirnya keesokan harinya bangun dengan tidak merasa segar. Pagi hari aku harus segera bergegas mempersiapkan diri untuk hari pertamaku masuk lab. Pagi itu aku menuju institut (IMMIP-Uniklinikum Bonn) ditemani Bang Afiat, yap hari pertama selalu mempunyai cerita menarik yang tak bisa dilupakan. Memasuki gedung yang memiliki banyak ruangan yang digunakan untuk laboraturium, jika tidak salah ada beberapa laboraturium untuk Medical Mikrobiology, Virology, Parasitology dan Immunology. Bang Afiat menjelaskan banyak hal tentang rungan labotraturium dan apa yang dikerjakan didalamnya, tentu sebagai orang asing aku banyak bertanya ke Bang Afiat saat itu, selain itu bang afiat juga mengenalkan beberapa orang yang kita temui di lorong saat akan menuju ke ruangan Bang Afiat di Lantai tiga. Beberapa orang yang ku temui mereka sangat baik dengan menanyakan beberapa hal kecil, dari percakapan kecilku itu menunjukkan ada yang salah dengan diriku. Ternyata ada juga orang Indonesia yang sedang internship sepertiku, namanya Mbak Ajeng beliau adalah Dokter dan Juga Dosen FK UNPAD yang membedakannya pasti tingkat penelitian yang di ambil sudah "HQ". Banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling disekitar gedung IMMIP, akhirnya aku meminta izin untuk sementara duduk di ruangan Bang Afiat, dalam satu ruangan Bang afiat tidak sendiri dia bersama tiga orang PhD student lainnya. Entah mengapa rasanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan orang-orang ini pada saat itu sehingga aku lebih banyak diam dan baru berbicara jika mereka bertanya tentu sekenanya saja. 

Meja Kerja (sengaja diberantakan)
Tanpa disengaja Bang Afiat dan aku bertemu dengan supervisorku Dr. Specht beliau adalah seorang PD (asisten Professor) di institut tersebut, beliau menanyakan beberapa hal dan memintaku untuk menemuinya di ruangannya sore itu. Sore harinya aku menepati permintaannya untuk menemuinya di ruangan beliau, beliau bermaksud untuk menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan penelitianku yang akan ku kerjakan disana. Beliau memulainya dengan percakapan ringan mengenai perjalanan, dan kesan pertama mengenai Jerman dan penginapan serta biaya untuk aku tinggal disana, aku menjawab sekenanya saja dan akhirnya pertanyaan yang ku takuti itu muncul juga "lets discuss about your project" oh my god, saat itu aku benar-benar seperti ditodong. Entah mengapa dari pagi hari sepertinya aku merasa kehilangan sesuatu dalam diriku, aku melupakan bagaimana cara berbicara bahasa inggris, ini benar-benar terjadi padaku.  Tahu apa yang kulakukan saat itu adalah, banyak meminta maaf karena aku tidak bisa menjelaskan hal itu kepada beliau namun akhirnya aku sedikit memberi gambaran tentang proyekku dengan menggunakan gambar, layaknya anak SD menggambar aku menggambar orang-orangan, nyamuk yang sangat jelek, beberapa panah keatas dan kebawah untuk menunjukkan peningkatan/penurunan, moment dimana aku sangat merasa gagal dan menyesal mengapa bisa orang sepertiku yang berangkat ke sini, orang yang bahasa inggrisnya sangat dibawah standart. Akhirnya beliau memaklumi dan menyarankan aku untuk pulang dan istirahat. Aku menceritakan hal itu pada Bang Afiat dengan nada sedikit kesal dengan diriku, namun sungguh bersyukur dikenalkan dengan seorang Bang Afiat, dia memberiku semangat untuk bangkit, aku harus benar-benar berusaha belajar jangan sampai membuat malu nama institusi universitas dan pihak konsorsium yang telah memilihku. Aku sadar akan "no pain no gain" dan "aku harus bangkit dan mengusahakannya".  Aku coba menghubungi supervisorku di Indonesia untuk memberikan aku saran, akhirnya beliau mengirimkan aku beberapa materi untuk aku pelajari dan untuk aku sampaikan kepada supervisorku disini.

  
Kira-kira aku membutuhkan tiga hari untuk penyesuaian diri, sebelum aku benar-benar bisa membiasakan diri berada di lingkungan yang tidak biasa aku hadapi sebelumnya. Ternyata benar, semua butuh proses selang tiga hari kemudian aku mulai bisa memulai percakapan dengan member lab lainnya, bahkan sudah mulai bisa mengajak beberapa teman untuk sekedar bercanda ya walaupun aku tahu bercandaanku gak lucu bagi mereka dan mereka mengusahakan untuk tertawa (aku adalah tipikal orang yang suka bercanda). Akhirnya dengan bekal beberapa materi dari Bu Kartika aku menjelaskan maksud dan tujuanku datang ke lab beliau, beliau memberikan beberapa kemungkinan yang bisa aku lakukan dan setelah diskusi panjang dengan Supervisorku di Indonesia juga diputuskan aku melakukan dua penelitian, yang pertama adalah berkaitan dengan kultur sel PBMC (Pheripheral blood Monouclear Cell) dan kultur sel Plasmodium falciparum , untuk kultur sel PBMC aku disarankan untuk banyak berguru pada ahli PBMC di lab itu yaitu seorang PhD Student bernama Katawa, dan untuk belajar mengkulturkan sel plasmodium aku disarankan untuk belajar pada seorang teknisi bernama Martina. Kedua orang ini sangat banyak membantuku selama aku belajar di Lab tersebut, dari segi skill menggunakan alat yang sebelumnya belum pernah aku tahu, dan juga beberapa tehnik yang baru aku pelajari dalam mengkulturkan sel.
Uniklinikum Bonn, Germany

Selain mengenai urusan lab, aku juga dituntut untuk segera mendapatkan Flatku sendiri. Supervisorku disini sangat baik, beliau juga mengusahakan beberapa alternatif flat selain aku juga mencarinya, sempat beliau menawarkan untuk tinggal bersama dengan keluarga Jerman namun aku tidak begitu tertarik. Sampai akhirnya aku mendapat kabar baik dari salah seorang PhD student dari Indonesia yang mau membagi kamarnya denganku, Bang Ghiffari namanya beliau adalah dokter sekaligus Dosen di FK UNSRI. Tidak terkejut memang semua orang Indonesia yang disini adalah seorang dokter karena Uniklinikum adalah Universitas yang Khusus menyediakan focus dibidang kedokteran dan kesehatan. Aku putuskan untuk memilih tinggal bersama bang Ghiffari sekamar dan seorang temannya yang berasal dari Nepal bernama Ramesh. Kami bertiga hidup damai di rumah kecil di halaman belakang rumah seorang Janda Tua bernama Erika (seorang native yang tinggal sendiri namun mengenal baik Internet dan teknologi) di Lessenich Kapelle, Laurentius strasse-Bonn.

Prosesi pembuatan bakso ala anak Venusberg
Minggu pertama untuk menyambut kedatanganku (GeeR) para abang-abang yang telah lama tinggal di Venusberg = Gunung Venus (nama daerah Uniklinikum Bonn) mengadakan pesta kecil-kecilan dengan acara membuat mie Bakso dan ketan hitam. Seorang PhD student yang juga seorang dokter lulusan UNDIP bernama Bang Muhammad membawa bubur ketan hitam, kami sudah membeli beberapa bahan untuk membuat mie bakso seperti Mie indomei (kalo di Bonn harga  satu bungkus Indomie sekitar 10.000 rupiah hanya di jual di Asian Mart), daging yang halal (dibeli di toko Turki) tepung dan beberapa macam bumbu. Cukup menyenangkan kegiatan itu dengan suasana kekeluargaan yang hangat (karena udara diluar cukup dingin), itu pertama kalinya aku membuat bakso dan memakan hasil masakanku yang rasanya luar biasa. Namun kami tidak sadar dengan kehadiran Ramesh di rumah itu yang notabene agamanya adalah Hindu yang menganggap sapi adalah dewa, “it’s so rude right”…. Kita dengan riang membuat bakso daging sapi, maafkan kami brother. to be continued.....


Formasi Lengkap Genk Venusberg